Berada di seberang Rumah Batak tadi, ada boneka kayu yang menarik perhatianku, namanya Si Gale-gale. Rasa takut dan penasaran tercampur menjadi satu, lantaran aku lihat boneka tersebut berdiri diatas makam. Cerita Si Gale-gale berawal dari seorang raja yang kehilangan anaknya di medan perang.
Sang Raja tak ikhlas dan sakit-sakitan sehingga mereka membuat boneka kayu sebagai perwujudan anaknya. Boneka kayu itu dipakaikan ulos dan sortali, lalu diberi nama Manggale, sama seperti nama anaknya. Roh Manggale dipanggil masuk ke dalam boneka kayu tersebut. Sejak saat itu, boneka Si Gale-gale menari selama 7 hari 7 malam, sehingga membuat kondisi raja membaik.
 |
Sigale-gale.
|
Pertunjukan Sigale-gale biasanya dilakukan saat ada seorang anak yang meninggal (terutama anak laki-laki), sebagai simbol kasih sayang orang tua dan anak. Namun sekarang, Pertunjukan Sigale-gale menjadi daya tarik wisatawan. Mereka bisa manortor bersama menggunakan ulos yang telah disediakan. Sayangnya saat itu, kami tidak sempat menari bersama Sigale-gale karena keterbatasan waktu dan terdapat minimal wisatawan untuk mengikuti Pertunjukan Sigale-gale ini.
Awal Mula Kanibal di Batu Persidangan
Setelah melewati deretan Rumah Batak bagian depan, tepat di depan salah satu Rumah Batak bagian tengah, terdapat meja dan kursi yang disusun melingkar, terbuat dari batu. Letaknya di bawah Pohon Hariara, yang merupakan pohon suci bagi masyarakat Batak. Tempat ini dinamakan Batu Parsidangan yang pertama. Fungsinya sebagai tempat rapat untuk menentukan hukuman kejahatan. Kemudian jika kita berjalan ke dalam lagi, terdapat Batu Persidangan yang kedua, yang menjadi tempat eksekusi hukuman pancung.
Tulang Gading mempersilahkan kami untuk duduk di kursi-kursi batu tersebut. Beliau menceritakan bahwa dulu tempat ini digunakan untuk mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan atau pelanggar hukum adat. Mereka diasingkan terlebih dahulu di rumah batak bagian bawah (karena dianggap seperti hewan) untuk menunggu waktu eksekusi hukuman pancung.
 |
Batu Persidangan Pertama di bawah Pohon Hariara. |
 |
Batu Persidangan Pertama.
|
Untuk menentukan tanggal hukuman, Raja Siallagan memakai kalender Batak dan buku sakti bernama Pustaha Laklak untuk mencari hari baik. Pelaku kejahatan yang mendapat hukuman pancung terlebih dahulu diberi makan untuk melemahkan ilmu hitam, lalu dipukul menggunakan tongkat sakti bernama Tunggal Panaluan.
Kemudian, tubuh mereka disiksa hingga berdarah dan disiram air asam. Setelah itu, barulah hukum pancung dieksekusi. Kepala dan tubuh penjahat yang dipancung dibuang, tapi ada beberapa bagian tubuh lainnya diambil seperti; hati, jantung, dan darah untuk dimakan oleh raja. Konon katanya agar ilmu hitam raja semakin kuat dan menambah kekebalan tubuh. Hal tersebut yang menjadi awal mula tradisi kanibalisme di Huta Siallagan.
 |
Tongkat Sakti Tunggal Panaluan, Kalender Batak, Pustaha Laklak, dan pisau untuk eksekusi hukuman pancung. |
 |
Adegan eksekusi hukuman pancung
|
Tapi tenang saja, sekarang hukuman pasung atau pancung sudah tidak ada. Ritual tersebut menghilang sejak pendeta Jerman Dr. Ingwer Ludwig Nommensen menyebarkan Agama Kristen. Lalu, Raja Siallagan yang menganut Parmalim (agama asli Batak) akhirnya memeluk agama Kristen, sehingga jika ada kejahatan, hukuman pidana dan perdata yang berlaku.
Aku cukup tegang mendengar hukuman pancung tadi. Jika aku berada di masa itu, pasti akan kulakukan semua hal sebaik mungkin agar tak mendapat hukuman, karena hidup ini sesungguhnya berharga. Lalu terpikir juga olehku, apakah karena hal itu banyak orang Batak menjadi pengacara untuk menegakkan keadilan?
 |
Tulang Gading membuatkanku topi batak dari ulos. Katanya dulu ulos dari topi digunakan oleh para perempuan untuk ke ladang/bekerja dibawah terik matahari.
|
Saat menuju arah pulang, kami disuguhkan banyak sekali oleh-oleh khas Batak seperti kain, tas, ikat kepala ulos, dan masih banyak lagi. Kalau kamu mampir ke sini jangan lupa beli oleh-oleh juga ya, sekalian membantu perekonomian masyarakat lokal. Sayangnya aku belanjanya kurang banyak karena kupikir mau beli oleh-oleh pas hari terakhir yang ternyata gak keburu.
 |
Toko Oleh-oleh, Jangan lupa belanja di sini ya! |
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan foto dengan ulos. Tulang Gading baik sekali. Beliau mengambilkan aku dan Will ulos untuk berfoto di depan Rumah Batak. Padahal di tempat ulos tadi sedang ada pertunjukkan Sigale-gale. Kamipun baru tahu kalau ternyata ulos untuk laki-laki dan perempuan berbeda.
 |
Terima kasih Tulang Gading, sampai jumpa!
|
Waktu itu terasa cepat, rasanya kami masih belum puas berada di Huta Siallagan, mungkin kurang dari satu jam kami berada di sana. Aku berharap bisa kembali lagi untuk menyaksikan pertunjukkan Sigale-gale dan memakai pakaian adat batak lengkap. Horas!
_____
Huta Siallagan
Alamat Siallagan-Pindaraya, Ambarita, Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara 22395
Telepon: 0822 2226 0098
Tiket Masuk Rp5000
Jam Buka Pk06.00 - Pk18.00 (Senin-Sabtu), Pk11.00 - Pk18.00 (Minggu)
Sumber Referensi:
0 komentar: