Cukai Rokok Naik, Pandemi Saat Tepat Berhenti Merokok

Time to quit smoking.
"Sebat dulu ya."

Minimal dua kali sehari, kalimat singkat itu terlontar dari teman kantor saya. Bahasa gaul 'sebat' itu maksudnya adalah Sebatang Rokok. Waktu masih menyandang titel sebagai pegawai kantoran di salah satu agensi, rasanya tiada hari tanpa asap rokok. Tahu sendiri kan kalau pekerja seni butuh mood untuk mendapatkan ide. Tak jarang teman-teman sejawat ke luar ruangan dengan membawa beberapa batang rokok untuk mendapatkan inspirasi, katanya.

Tanpa basa-basi, saya langsung menutup hidung dengan tangan, hingga kelamaan saya meggunakan masker mulut agar tidak terhirup asap rokok itu. Ruang kerja dan ruang luar dibatasi oleh pintu kaca, namun tetap saja asap rokok masuk melalui celah pintu. Alhasil asap rokok tadi benar-benar mengganggu konsentrasi saya karena baunya yang sangat kuat dan menohok.

Harga Rokok di Indonesia Tergolong Murah

Bukan hanya orang dewasa saja, namun dalam lima tahun terakhir, banyak anak remaja yang merokok. Beberapa faktornya karena rokok masih dijual bebas dengan harga yang sangat terjangkau. Dengan harga kurang lebih Rp20.000-Rp30.000, mereka sudah bisa mendapatkan 1 bungkus rokok. Belum lagi jika rokok dijual eceran, harganya hanya kisaran Rp2000 per-batang saja! Data dari Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2019, menunjukkan bahwa prevalensi perokok remaja usia 13-15 tahun naik dari 18,3% pada 2016 dan mencapai 19,2% pada 2019.

Sebagai ibu rumah tangga yang juga berprofesi sebagai content creator, saya langsung berpikir kalau uang senilai Rp20.000 sudah bisa saya gunakan untuk membeli bahan makanan untuk makan sehari. Sayapun pernah melihat pemulung yang merokok di pinggir jalan. Lalu saya berpikir lagi, "Kenapa dia bisa beli rokok, tapi masih mengemis untuk membeli makan?"
Perbandingan harga rokok di Indonesia dan negara lain. 
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, harga rokok di Indonesia berada di peringkat bawah alias paling murah. Berdasarkan sumber dari Asian Money Guides, jika dirupiahkan harga rokok di Australia bisa mencapai Rp400.000. Wow! Nominal yang sangat besar dan jauh lebih mahal dibanding harga rokok di Indonesia. Saya jadi ingat waktu teman saya jalan-jalan ke Jepang, dia tidak mengosumsi rokok karena harganya mahal.

"Rokok di Jepang mahal banget, mendingan buat gue beli makanan enak di sana." katanya. 

Menurut data dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) pada tahun 2019 bertema 'The Tobacco Control Atlas, Asean Region', Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yaitu 65,19 juta orang. Hal itu disebabkan oleh harga dan tarif cukai rokok yang tergolong murah dan rendah.

Belum lagi saat pandemi yang belum diketahui kapan berakhirnya ini, konsumsi rokok di Indonesia semakin meningkat karena kondisi yang tak menentu membuat pikiran stres dan depresi. Ujung-ujungnya sebat menjadi salah satu sarana refreshing-nya. Bahkan sejumlah industri rokok tetap beroperasi karena permintaan rokok yang melonjak selama pandemi.

Dalam siaran Radio Ruang Publik KBR pada tanggal 29 Juli 2020, bersama Profesor Hasbullah Thabrany, selaku Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau dan Renny Nurhasana, selaku Dosen dan Peneliti Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, membahas pentingnya mengapa cukai rokok harus naik saat pandemi.

Ruang Publik KBR bersama Profesor Hasbullah Thabrany.
Ruang Publik KBR bersama Renny Nurhasana.
"Harga rokok Rp70.000/bungkus dapat lebih efektif mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Hanya mereka yang sudah biasa merokok yang membeli rokok dan mereka (anak-anak) yang belum akan tidak memulai merokok." kata Profesor Hasbullah Thabrany.

Saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Dalam hati saya bicara, memang sudah seharusnya harga rokok dinaikkan berkali lipat, supaya perokok berpikir ulang jika ingin membelinya. Dalam kajian ini, penting bagi pemerintah untuk menaikkan cukai rokok, terutama saat pandemi agar konsumsi rokok tidak semakin meningkat dan menegaskan sanksi bagi pelanggarnya.

Mengapa Cukai Rokok Harus Naik Saat Pandemi?

Cukai dikenakan terhadap barang tertentu yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu pengawasan, dan pemakaiannya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan. Salah satunya hasil tembakau yang meliputi rokok. Sudah jelas, rokok membawa dampak yang tidak baik bagi kesehatan dan perokok pasif. Selain itu asap dan puntung rokok juga berbahaya bagi lingkungan; asap dan puntung rokok menyebabkan polusi udara dan mencemari lingkungan.

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.10/2019 mengenai Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Cukai rokok di Indonesia sudah naik sejak 1 Januari 2020 sebesar 23% dan harga eceran rokok naik sekitar 35%. Menurut Profesor Hasbullah Thabrany,  hal ini dinilai belum signifikan. Beliau mengatakan bahwa kenaikan cukai rokok sebaiknya tidak dilihat dari besar persenannya, tapi harus dievaluasi sesuai tujuannya.

Pasalnya konsumsi rokok masih terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010, konsumsi rokok di Indonesia sebanyak 220 miliar batang dan pada tahun 2020, konsumsi rokok mencapai 330 miliar batang! Lalu mengapa cukai rokok harus naik saat pandemi?

1. Perokok Lebih Terancam Virus Covid-19.
Kita tahu bahwa merokok berbahaya dan mengancam kesehatan. Perokok berpotensi 14x lebih parah terkena gejalan Covid-19. Baik itu merokok dari rokok batangan, rokok elektrik, ataupun cerutu. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, merokok adalah salah satu faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM) penyebab penyakit Kardiovaskular, Kanker, Paru Kronis, dan Diabetes.

Perokok lebih terancam Virus Covid-19.
World Health Organization (WHO) juga sudah memperingatkan bahwa perokok berisiko lebih tinggi jika terkena Covid-19. Asap dari rokok mengganggu sistem pernapasan bagi perokok aktif maupun perokok pasif, sedangkan Covid-19 juga menyerang paru-paru. Merokok menurunkan sistem kekebalan tubuh, sehingga dapat menyebabkan penyebaran virus corona lebih cepat.

2.  Lebih Mudah Merokok karena (sebagian pegawai) Bekerja dari Rumah.
Renny Nurhasana mengatakan bahwa konsumsi rokok meningkat akibat pegawai yang banyak bekerja di rumah/work from home. Saat sulit dan waktu terbatas jika merokok di kantor, para perokok bisa dengan bebas merokok di rumah kapan saja. 

Alhasil intensitas merokok meningkat dan keluargalah yang menjadi korbannya sebagai perokok pasif. Rokok menjadi salah satu kebutuhan pokok selama pandemi. Mereka yang terpaksa bekerja dari rumah, memiliki akses merokok yang lebih bebas, ditambah dengan terbatasnya interaksi sosial.

3.  Keluarga Perokok Rentan Stunting.
Tahu gak sih kalau merrokok dapat penyebab stunting pada anak? Bagi kamu yang belum berkeluarga dan memiliki anak (seperti saya), mungkin istilah stunting terdengar asing. Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama.

Berdasarkan data statistik dari Kementerian Kesehatan, orang tua dengan riwayat perokok kronis memiliki kemungkinan mengalami stunting sebesar 5,5 % lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari orang tua bukan perokok. Mencegah stunting tentu sangat penting dan hal tersebut berawal dari lingkungan keluarga yang sehat.

Sumber: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengatakan bahwa 12,4% pendapatan masyarakat menengah ke bawah, digunakan untuk mengonsumsi rokok di tengah pandemi. Padahal di tengah ancaman krisis ekonomi karena pandemi, seharusnya masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan gizi dan pendidikan anak daripada rokok. 

Sebagai kasus contoh, jika seseorang memiliki pendapatan Rp50.000/hari, lalu Rp20.000 digunakan untuk membeli rokok. Artinya hampir setengah dari pendapatannya digunakan untuk mengonsumsi rokok. Bayangkan jika nominal Rp20.000 dibelanjakan bahan makanan bergizi seperti yang saya sebutkan di awal. 

4. Alihkan Uang Rokok untuk Investasi.
Pandemi adalah saat yang tepat untuk berhenti merokok. Kondisi seperti sekarang memaksa kita untuk lebih bijak dan menetapkan prioritas untuk bisa bertahan. Jika perokok memasukkan anggaran rokok dalam belanjanya sebesar Rp20.000/hari seperti contoh tadi, maka kalau ditabung selama sebulan nominalnya menjadi Rp600.000 per bulan atau senilai Rp7.200.000 setahun. Nominal yang cukup besar untuk menjadikannya sebagai investasi. 

Sumber: photo.kontan.co.id
Jika suatu saat kondisi tak terduga melanda, setidaknya tak menyesal sudah mengalokasikan anggaran belanja rokok untuk hal yang lebih penting. Saat ini, bukan hanya pandemi corona saja yang menyebar, namun sesungguhnya pandemi merokok juga menjadi masalah penting yang sudah ada sejak lama. Virus corona dan asap rokok sama-sama berbahaya. Biaya yang dikeluarkan juga tak sedikit jika terkena keduanya. Oleh karena itu, penting untuk mengalokasikan uang rokok untuk investasi. 

Denormalisasi Rokok di Indonesia

Saat kondisi seperti ini, bantuan sosial dari pemerintah berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Kartu Pra Kerja sudah diberikan dalam rangka subsidi bagi rakyat di tengah pandemi. Namun faktanya, Reni Nurhasana mengatakan bahwa persentase rokok penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) 3,5 batang per kapita per minggu lebih tinggi. Hal tersebut menyebabkan bantuan sosial tidak tepat sasaran.

Bantuan Langsung Tunai perlu pengawasan agar uang yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan pangan dan tidak disalahgunakan untuk hal lain, misalnya rokok. Rokok di Indonesia sudah dianggap barang biasa yang tak membahayakan. Tidak seperti di luar negeri yang peredarannya harus dengan pengawasan ketat. 

"Di luar negeri anak-anak tidak melihat iklan rokok dan tidak tahu cara merokok." kata Reni Nurhasana

Oleh sebab itu, perlu adanya denormalisasi rokok di Indonesia. Pemerintah harus berani memberi kriteria bantuan sosial salah satunya dengan rumah tangga bebas rokok. Dalam upaya mengurangi konsumsi rokok tersebut, pemerintah harus berupaya menekan prevalensi rokok dengan beberapa hal;
  • Menaikkan tarif cukai, yang meningkatkan harga rokok per batang/bungkus, untuk menekan angka perokok.
  • Simplifikasi layer cukai rokok. Layer cukai rokok di Indonesia masih sangat kompleks, terdapat hingga 10 layer. Dengan simplifikasi layer, semakin sedikit variasi harga di masyarakat.
  • Mengkaji ulang penyaluran dan penggunaan bantuan sosisal agar tepat sasaran.
  • Memberikan edukasi melalui family development session.
  • Mendenormalisasi konsumsi rokok.
Upaya pelarangan iklan rokok di luar ruangpun sudah banyak di lakukan di beberapa kota seperti Jakarta, Bogor, dan Sawahlunto. Saya berharap konsumsi rokok bisa turun sehingga angka kematian akibat  penyakit yang disebabkan rokok bisa berkurang apalagi di tengah pandemi seperti ini. Peningkatan harga rokok dengan kenaikan cukai saat pandemi, merupakan salah satu langkah agar perokok bisa mengurangi konsumsi rokok bahkan berhenti merokok, serta mencegah anak-anak remaja yang ingin mulai merokok.

Saya sudah berbagi pengalaman pribadi untuk #putusinaja hubungan dengan rokok atau dorongan kepada pemerintah untuk #putusinaja kebijakan pengendalian tembakau yang ketat. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog serial #putusinaja yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Indonesia Social Blogpreneur ISB. Syaratnya, bisa Anda lihat di sini.

Sumber Referensi:
...

Keep in Touch
Thanks for reading!

0 komentar: