Homestay di Tasimalaya

Tanggal 7-10 Juli 2011 lalu, aku bersama rombongan remaja dan pemuda GKI Gunsa pergi ke Tasikmalaya untuk mengadakan Homestay. Perjalanan kurang lebih memakan waktu 11 jam. Jalanan menuju desa tujuan agak rusak, berbatu, dan sedikit berbahaya. Disana hanya terdapat satu gereja yaitu GKP Kalaksanan, dan daerah sekitar gereja rata-rata memang dihuni masyarakat kristiani walaupun kota Tasik ini sering disebut kota Santri.


Kegiatan GKP cukup padat dari hari Selasa hingga Minggu. Hanya ada satu orang pendeta yang tinggal menetap disana. Beliau bernama Pdt. Bonaparte. Kedatangan kami bersamaan dengan kedatangan orang-orang Korea yang juga akan mengadakan proyek di tempat ini. Mereka akan membuat jembatan, melukis tembok klinik, dan membantu membuat perpustakaan umum untuk anak-anak.


Aku dan Livia tinggal di rumah Pak Kusno. Beliau memiliki seorang istri, dua orang anak, satu orang menantu, dan satu orang cucu. Jadi aku sangat nyaman dengan banyaknya anggota keluarga dalam rumah itu. Gambar pertama diatas adalah dapur, dan kedua adalah WC yang bergabung dengan tempat cuci piring.


Elin, salah satu anak Pak Kusno yang masih duduk di bangku SMA mengajakku pergi ke pantai. Elin sangat ramah dan ceriwis. Perjalanan ke pantai memakan waktu kurang lebih 25 menit menggunakan motor, dan lagi-lagi jalanan berbatu membuat kami harus selalu berhati-hati

Pantai di desa Tasik ini gak kalah indah dengan pantai di Bali loh, haha. Banyak anak-anak bermain dan berenang, air laut juga tampak sangat jernih. Elin bilang, kalo lagi bosan pilihannya kalau gak jalan ke pantai ya ke hutan. Walaupun gak lama berada di pantai, tapi setidaknya aku senang bisa melihat pantai di Tasik ini, tetap merasakan kesejukan pantai walau hanya sesaat.



Setelah dari pantai, aku ikut nganggon sapi sama bapak. Matahari begitu terik saat itu. Melewati area sawah, padi gagal panen karena musim kemarau. Bapak memberikan aku kelapa muda yang diambil langsung dari pohonnya. Rasanya segar dan sedikit beralkohol.


Seperti yang tadi aku katakan bahwa kedatangan kami bersamaan dengan kedatangan teman-teman dari Hanshin University-Korea. Kami sedang latihan menyanyi di rumah Pdt. Bona untuk mengisi pujian di GKP, tiba-tiba seorang perempuan Korea datang kedalam rumah.

Kami agak kaget dan berusaha berbicara dengan bahasa Inggris. Dia bernama Ahreum(bahasa Korea), dan dipanggil Hana di Indonesia. Untungnya Hana cukup fasih berbahasa Inggris, sehingga obrolan kamipun mengalir. Hana meminta kami menyanyikan lagu rohani Indonesia untuknya.

Kami menyanyikan lagu bersama-sama, lagu yang kami persiapkan untuk pengisi pujian nanti, Pelangi Kasih-Nya (walaupun dia juga gak ngerti artinya) Kemudian, aku meminta Hana untuk menyanyikan lagu rohani Korea, dan diapun melantunkannya (walaupun kami juga gak ngerti artinya apa).

Walaupun beda bahasa, akhirnya kami menemukan sebuah lagu bahasa Inggris yang kami nyanyikan bersama-sama, Amazing Grace.  Great time with her.


Rombongan Korea harusnya menetap seminggu di Tasik. Namun karena masalah izin dan visa yang dipersulit, dengan sangat terpaksa mereka di deportasi hari Sabtu. Nampaknya rombongan Korea dicurigai akan membawa dampak buruk di wilayah itu.

Mungkin banyak orang mengira orang-orang Korea yang datang beragama Kristen, tapi faktanya cuma empat orang yang beragama Kristen. Ada orang-orang yang nampaknya gak suka dengan kedatangan mereka karena takut Kristenisasi, padahal tujuan mereka untuk umum. Sebelum rombongan Korea pulang, mereka menampilkan budaya khas Korea, tarian, nyanyian, dan perkusi.



Tempat ini dulu sempat dibakar pada tahun 1996 dan 2001. Gereja dan rumah-rumah warga dibakar. Pdt. Bona bilang bahwa penduduk sini tetap bertahan dalam kondisi mereka yang benar-benar penuh tekanan. Bagaimana mempertahankan iman yang tetap teguh sampai sekarang. Kondisi tersebut bahkan membuat penduduk disana semakin dekat sama Tuhan. Berbagi kasih yang seringkali dirasa disalahgunakan sama orang-orang, tapi mereka tetap memberikan yang terbaik. Salut!


Ini foto bersama kami, walau pertemuan kami hanya sebentar dan tidak terduga, tapi aku bangga sama semangat mereka untuk Indonesia. Keramahan dan kesantunan mereka patut dicontoh. Hana pernah bilang kalo dia jatuh cinta sama Indonesia. Hana ingin lebih lama lagi di desa Tasik, bersama warga dan bermain bersama anak-anak. Masalah memisahkan kami semua, namun aku yakin dimanapun kami berada kami gak akan melupakan pengalaman ini.



Kami mengadakan Malam Keakraban disana. Malam yang diisi dengan canda tawa, permainan, dan pujian. Tiap keluarga menyumbangkan sebuah lagu loh! Malam yang dingin penuh bintang berubah menjadi malam yang hangat karena kebersamaan itu. Keeseokan harinya, kami memulai proyek. Kami membuat proyek bangunan perpustakaan untuk anak-anak sekolah minggu. 



Kami bermain bersama anak-anak. Anak-anak yang gak kenal lelah, dan selalu bersemangat.
Anak-anak yang polos namun selalu menginspirasi bahwa keceriaan bisa datang lewat hal-hal kecil.


Kami pergi bersama-sama ke air terjun. Air terjun yang tidak begitu besar namun penuh dengan batu-batu besar. Anak-anak bermain dan berenang disana. Pemandangan yang indah dan yang pasti gak ada di Jakarta. Pemandangan yang membuat orang-orang ingin datang kembali.


Kebaktian Remaja di Tasik diadakan hari Sabtu. Namanya Kebaktian Jiwa Muda. Rata-rata kehadiran 7-15 orang. Pada hari terakhir, kami mengikuti kebaktian umum. Saat ramah tamah, kami menyanyikan tiga buah lagu secara medley yang otomatis membuat hati ini sangat sedih meninggalkan desa ini ; Dalam Yesus Kita Bersaudara, Kucinta Keluarga Tuhan, dan Ingatlah hari ini..


Ini keluargaku, terima kasih sudah menerima kami. Maaf membuat ibu-bapak malah tidur di ruang tamu, dan memberi kami tidur di kamar. Terima kasih atas jamuan makanan sederhana yang menjadikan hari-hariku jadi luar biasa. Terima kasih atas pengalaman yang gak bakal aku dapat di Jakarta.

0 komentar: