Kampung Kanibal Huta Siallagan | Toba Trip Part-3

Horas!

Itulah kata yang harus diucapkan saat memasukki Rumah Batak. Akupun baru tahu, saat berkunjung ke Huta Siallagan. Lokasinya tak jauh dari penginapan kami di Tabo Cottage. Dalam bahasa Batak, Huta adalah kampung. Siallagan adalah nama Raja Siallagan. Dahulu kala, area kampung ini dibangun oleh keluarga bermarga Siallagan yang dipimpin oleh Raja Siallagan. 

Horas!

Hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp5000 saja, kita sudah bisa mengunjungi Objek Wisata Budaya Batu Kursi Raja Siallagan. Pintu masuk terbuat dari batu yang tak terlalu tinggi dan tak begitu lebar. Konon tembok batu itu dulu berfungsi sebagai penghalang serangan dari binatang buas atau serangan dari kampung lain. Setelah melalui pintu masuk bertulis Huta Siallagan, aku melihat beberapa deretan Rumah Batak yang ikonik.


Pintu Masuk Huta Siallagan.

Perkenalkan ini Tulang Gading yang mengajak kami berkeliling Huta Siallagan. Katanya, beliau juga dulu yang memandu Presiden Jokowi waktu rombongannya berkunjung ke Huta Siallagan. Dengan bangga dan antusias, beliau menceritakan sejarah Kerajaan Siallagan kepada kami. Dari penjelasan beliau, aku jadi paham kenapa kekeluargaan di suku Batak sangat erat. 

Tulang Gading sebagai tour guide kami di Huta Siallagan.

Rumah Batak Penuh Makna

Arsitektur Rumah Batak memang unik dan penuh makna. Terdapat tiga jenis rumah di komplek Huta Siallagan, yaitu Rumah Bolon, Rumah Siamporik, dan Rumah Sibola Tali. Rumah Bolon bentuknya lebih besar, tangga masuknya mengarah ke dalam, serta dihuni oleh raja dan keluarganya. Rumah Siamporik bentuknya lebih kecil, tangga masuk dari luar, serta dihuni oleh keluarga yang diundang untuk tinggal. Sedangkan Rumah Sibola Tali bentuknya lebih langsing dan kecil dan dihuni oleh kerabat raja.

Ini yang dimaksud tangga dari dalam dan dari luar.

Tapi Rumah Batak berada di Huta Siallagan ini, tak menampilkan ukuran asli karena dulu pernah terjadi kebakaran sehingga dibangun kembali untuk tetap melestarikannya. Lalu, bagian atap depan dan belakang Rumah Batak berbentuk meruncing yang artinya orang tua dan anak. Jika hendak masuk rumah, kami harus menundukkan kepala sebagai rasa hormat. Selain itu, bagian belakang atap lebih tinggi daripada bagian depan melambangkan generasi penerus harus lebih baik dan hebat dari orang tuanya.


Rumah Batak mengarah ke gunung yang artinya berkat datang dari tempat yang tinggi. Terdiri dari tiga tingkat yaitu; bagian atap untuk tempat penyimpanan barang, bagian tengah untuk tempat tinggal, dan bagian bawah untuk hewan peliharaan.

Rumah Batak di Huta Siallagan.

Corak yang terdapat pada Rumah Batak bukan hanya sebagai dekorasi, tapi juga memiliki makna yang dalam. Aku teringat akan perkataan salah seorang teman, jika di kamar penginapan ada tokek atau cicak jangan diganggu karena memiliki arti bagi masyarakat batak.

Ternyata simbol cicak yang terdapat di bagian depan Rumah Batak, melambangkan hewan yang bisa hidup dimana saja. Filosofi cicak digambarkan seperti perantau sejati yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam bahasa Batak, ukiran cicak disebut juga Gorga Boraspati yang merupakan simbol kebijaksanaan dan kekayaan.

Gorga Boraspati dan Adop-adop.

Selain itu, terdapat simbol payudara yang melambangkan orang batak tidak melupakan kampung halamannya jika merantau (seperti kembali ke pangkuan ibu). Dalam bahasa batak, ukiran payudara disebut juga Adop-adop. Adop-adop pertama diartikan sebagai simbol kesucian, adop-adop kedua diartikan sebagai simbol kesetiaan. Adop-adop ketiga diartikan sebagai simbol kesejahteraan, dan adop-adop keempat diartikan sebagai simbol kesuburan wanita.


Kisah Mistis Sigale-gale

Berada di seberang Rumah Batak tadi, ada boneka kayu yang menarik perhatianku, namanya Si Gale-gale. Rasa takut dan penasaran tercampur menjadi satu, lantaran aku lihat boneka tersebut berdiri diatas makam. Cerita Si Gale-gale berawal dari seorang raja yang kehilangan anaknya di medan perang.

Sang Raja tak ikhlas dan sakit-sakitan sehingga mereka membuat boneka kayu sebagai perwujudan anaknya. Boneka kayu itu dipakaikan ulos dan sortali, lalu diberi nama Manggale, sama seperti nama anaknya. Roh Manggale dipanggil masuk ke dalam boneka kayu tersebut. Sejak saat itu, boneka Si Gale-gale menari selama 7 hari 7 malam, sehingga membuat kondisi raja membaik.

Sigale-gale.

Pertunjukan Sigale-gale biasanya dilakukan saat ada seorang anak yang meninggal (terutama anak laki-laki), sebagai simbol kasih sayang orang tua dan anak. Namun sekarang, Pertunjukan Sigale-gale menjadi daya tarik wisatawan. Mereka bisa manortor bersama menggunakan ulos yang telah disediakan. Sayangnya saat itu, kami tidak sempat menari bersama Sigale-gale karena keterbatasan waktu dan terdapat minimal wisatawan untuk mengikuti Pertunjukan Sigale-gale ini.


Awal Mula Kanibal di Batu Persidangan

Setelah melewati deretan Rumah Batak bagian depan, tepat di depan salah satu Rumah Batak bagian tengah, terdapat meja dan kursi yang disusun melingkar, terbuat dari batu. Letaknya di bawah Pohon Hariara, yang merupakan pohon suci bagi masyarakat Batak. Tempat ini dinamakan Batu Parsidangan yang pertama. Fungsinya sebagai tempat rapat untuk menentukan hukuman kejahatan. Kemudian jika kita berjalan ke dalam lagi, terdapat Batu Persidangan yang kedua, yang menjadi tempat eksekusi hukuman pancung.


Tulang Gading mempersilahkan kami untuk duduk di kursi-kursi batu tersebut. Beliau menceritakan bahwa dulu tempat ini digunakan untuk mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan atau pelanggar hukum adat. Mereka diasingkan terlebih dahulu di rumah batak bagian bawah (karena dianggap seperti hewan) untuk menunggu waktu eksekusi hukuman pancung.

Batu Persidangan Pertama di bawah Pohon Hariara.

Batu Persidangan Pertama.

Untuk menentukan tanggal hukuman, Raja Siallagan memakai kalender Batak dan buku sakti bernama Pustaha Laklak untuk mencari hari baik. Pelaku kejahatan yang mendapat hukuman pancung terlebih dahulu diberi makan untuk melemahkan ilmu hitam, lalu dipukul menggunakan tongkat sakti bernama Tunggal Panaluan.

Kemudian, tubuh mereka disiksa hingga berdarah dan disiram air asam. Setelah itu, barulah hukum pancung dieksekusi. Kepala dan tubuh penjahat yang dipancung dibuang, tapi ada beberapa bagian tubuh lainnya diambil seperti; hati, jantung, dan darah untuk dimakan oleh raja. Konon katanya agar ilmu hitam raja semakin kuat dan menambah kekebalan tubuh. Hal tersebut yang menjadi awal mula tradisi kanibalisme di Huta Siallagan.

Tongkat Sakti Tunggal Panaluan, Kalender Batak, Pustaha Laklak, dan pisau untuk eksekusi hukuman pancung.

Adegan eksekusi hukuman pancung

Tapi tenang saja, sekarang hukuman pasung atau pancung sudah tidak ada. Ritual tersebut menghilang sejak pendeta Jerman Dr. Ingwer Ludwig Nommensen menyebarkan Agama Kristen. Lalu, Raja Siallagan yang menganut Parmalim (agama asli Batak) akhirnya memeluk agama Kristen, sehingga  jika ada kejahatan, hukuman pidana dan perdata yang berlaku.

Aku cukup tegang mendengar hukuman pancung tadi. Jika aku berada di masa itu, pasti akan kulakukan semua hal sebaik mungkin agar tak mendapat hukuman, karena hidup ini sesungguhnya berharga. Lalu terpikir juga olehku, apakah karena hal itu banyak orang Batak menjadi pengacara untuk menegakkan keadilan? 

Tulang Gading membuatkanku topi batak dari ulos. Katanya dulu ulos dari topi digunakan oleh para perempuan untuk ke ladang/bekerja dibawah terik matahari.

Saat menuju arah pulang, kami disuguhkan banyak sekali oleh-oleh khas Batak seperti kain, tas, ikat kepala ulos, dan masih banyak lagi. Kalau kamu mampir ke sini jangan lupa beli oleh-oleh juga ya, sekalian membantu perekonomian masyarakat lokal. Sayangnya aku belanjanya kurang banyak karena kupikir mau beli oleh-oleh pas hari terakhir yang ternyata gak keburu.

Toko Oleh-oleh, Jangan lupa belanja di sini ya!

Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan foto dengan ulos. Tulang Gading baik sekali. Beliau mengambilkan aku dan Will ulos untuk berfoto di depan Rumah Batak. Padahal di tempat ulos tadi sedang ada pertunjukkan Sigale-gale. Kamipun baru tahu kalau ternyata ulos untuk laki-laki dan perempuan berbeda. 

Terima kasih Tulang Gading, sampai jumpa!

Waktu itu terasa cepat, rasanya kami masih belum puas berada di Huta Siallagan, mungkin kurang dari satu jam kami berada di sana. Aku berharap bisa kembali lagi untuk menyaksikan pertunjukkan Sigale-gale dan memakai pakaian adat batak lengkap. Horas!

_____

Huta Siallagan
Alamat Siallagan-Pindaraya, Ambarita, Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara 22395
Telepon: 0822 2226 0098
Tiket Masuk Rp5000
Jam Buka Pk06.00 - Pk18.00 (Senin-Sabtu), 
Pk11.00 - Pk18.00 (Minggu)

Sumber Referensi:


...

Keep in Touch
Thanks for reading!

0 komentar: